Berjalan di Atas Selat Johor (Tersesat di Perbatasan)


Tahun 2017 di bulan Agustus, tepat hari kemerdekaan malaysia.
Ini adalah pengalaman pertama aku ke luar negeri  bersama suami sebagai moment bulan madu kami, sekaligus bersilaturahmi dengan mak ci alias tante yang tinggal di Kuantan (Negeri Pahang). Kami berangkat bertiga, aku, suamiku, dan tante Massa. 
Perjalan menuju Malaysia kami sengaja mengambil penerbangan ke Singapura dan menuju ke Kuantan melalui Johor Bahru, perbatasan Malaysia dan Singapura dengan jalan darat. Dan semua yang terjadi di luar ekspektasi kami.


·        Menuju Terminal Victoria
Dari Bandara Changi kami naik MRT menuju Bugis Station di kawasan Kampung Bugis (Bugis Streat). Kemudian berjalan kaki menuju terminal Victoria di Victoria Street tempat bus jurusan Singapura – Johor Bahru. 
Jalan yang sangat berbeda dengan yang kami temui di beberapa kota di Indonesia. Lingkungan yang bersih dan asri, udaranya pun sejuk jauh dari kesan berpolusi asap kendaraan. Aku sangat terkesan dan jalan lambat sambil menikmati suasana hingga jauh tertinggal di belakang suamiku.
Kami melanjutkan perjalanan menuju terminal yang berjarak tinggal 100 m lagi. Disini kami cukup lama mengantri sekitar hampir 2 jam.
Selama mengantri kami diajarkan bagaimana budaya mengantri di kota ini. Sepanjang apapun antriannya, mereka tetap menunggu di belakang meskipun terburu-buru.
Namun mendekati magrib, ada sekelompok pelajar yang sedikit kurang etika menyerobot antrian di sebelah kami.
Sontak seketika orang-orang mengomeli dengan menggunakan bahasa setempat. Bahasanya campur dengan bahasa melayu, jadi kami sempat mengerti sedikit.
Ya,,, di singapura memiliki 3 rumpun bahasa yaitu Inggris, Melayu, Tamil dan Mandarin. 

 Menyeberang Ophir Rd menuju Vistoria Street

·        Woodland Check Point
Setelah menunggu hampir 2 jam, giliran kami naik bus pun tiba. Perjalan menuju Johor Bahru  ditempuh kurang lebih 45 menit. Kami tidak begitu menikmati pemandangan yang disajikan sepanjang jalan karena sudah malam dan kami kelelahan mengantri hingga hampir tertidur di bus. Menurut cerita, jalan yang dilalui menyajikan pemandangan mulai jalan perkotaan dengan padatnya bangunan gedung-gedung tinggi hingga pemandangan nuansa luar kota dan melintasi hutan lindung Singapura yang rimbun.

Untuk menuju Johor Bahru, bus sebelumnya akan berhenti di Woodland Check Point Singapura-CIQ (kantor imigrasi singapura) untuk cap paspor meninggalkan Singapura. Saat tiba di gedung CIQ aku turun dengan santai sementara orang-orang berlarian atau jalan cepat masuk ke dalam gedung. Awalnya aku agak cuek sambil melihat-lihat sekeliling dan mengambil beberapa gambar terutama gedung CIQ, namun tidak sempurna karena suamiku sudah memanggil untuk segera jalan cepat masuk ke gedung.
Ternyata mereka berjalan cepat atau bahkan berlari bukan tanpa alasan. Penumpang harus segera melewati proses dalam kantor imigrasi Singapura dan kembali menaiki bus yang sama atau dari perusahaan bisa yang sama. Selain itu juga antrian di loket imigrasi yang panjang bisa berlangsung lama. Apa lagi waktu sudah menunjukan hampir pukul 9 malam dan kantor imigrasi sebentar lagi ditutup.



Tertahan di Imigrasi Singapura
Awal masuk ke Gedung CIQ suasana tampak lengang, tidak begitu banyak orang yang melintas. Kami naik tangga menuju lantai 2 mengikuti arah orang-orang berjalan. Tiba di loket imigrasi tidak seperti yang terlihat saat pertama kali masuk gedung. Antrian di deretan meja petugas imigrasi begitu ramai dan padat. Sambil mengantri, aku memperhatikan di sekelilingku. Mataku tertuju pada keluarga yang berada tepat di selat loket ku mengantri. Sepasang suami istri dan dua anak balita yang nampak lincah saat mengantri. 

Mendekati giliran kami. Di depan suamiku maju terlebih dahulu menghampiri petugas imigrasi, kemudian disusul tente Massa dan aku. Kami merasa tegang karena sebelumnya di Imigrasi Bandara Changi aku tertahan dan digiring ke ruangan introgasi. Khawatir kejadian tersebut akan terulang lagi.
Dan benar saja,, setelah suamiku lolos dari pemeriksaan imigrasi, giliran tante Massa yang diperiksa. Aku terus mengawasinya.
Beliau terlihat gelisah mencari-cari sesuatu. Petugas imigrasi memintanya menunjukan kartu identitas. Tiba-tiba petugas memanggil bagian keamanan untuk mengantarkan tanteku ke bagian introgasi.

Aku dan suamiku kaget dan berusaha menghampiri petugas imigrasi tersebut namun tidak diizinkan mendekat. Kata mereka ini hanya boleh diselesaikan oleh yang bersangkutan dan tidak boleh didampingi orang lain.
Saat giliran aku diperiksa, aku coba menanyakan kepada petugas yang sama tentang alasan tante kami harus diintrogasi. Namun mereka sama sekali tidak menjawab. Petugas yang lain hanya meminta kami menunggu saja sampai prosesnya selesai.
Kami hanya bisa menunggu dengan perasaan gelisah dan mondar-mandir tidak jelas di depan loket.
Kekhawatiran kami sangat besar karena mengingat tante Massa tidak bisa berbahasa inggris dan khawatir jika beliau makin ketakutan karena sendiri. 

30 menit berlalu kami belum melihat tante kami keluar. Satu persatu lampu gedung mulai dipadamkan. Suamiku mencoba bertanya pada petugas keamanan. Jawabannya pun sama, kami diminta sabar menunggu.
Aku mulai lelah dan duduk di lantai sambil memperhatikan orang lalu lalang pergi meninggalkan gedung hingga hampir sepi. Aku tersadar ada seorang pria menggendong anak kecil berdiri di sampingku. Pria itu adalah anggota keluarga yang aku lihat tadi di antrian. 
Aku beritahu ke suamiku untuk coba bertanya kepada bapak itu. Disini kami tahu bahwa istrinya tertahan juga oleh petugas imigrasi. Dia dengan santai mengatakan bahwa ini hal yang biasa terjadi, bisa dikarenakan identitas atau masalah sidik jari yang tidak jelas. 

Hampir semua pintu gedung mulai ditutup satu persatu membuat kami makin panik. Ditengah kepanikan kami, istri bapak yang tadi pun keluar disambut gembira oleh anak mereka. Kami coba menanyakan kembali kenapa sampai diintrogasi. Jawabannya sama, mengenai masalah sidik jari. Dan ternyata ibu tersebut mengenali tante Massa yang berada di ruangan yang sama. 

“Tunggu saja,, karena masih banyak orang di dalam yang diintrogasi” katanya.
Dan mereka sekeluarga pun pergi berlalu.

Hampir semua pintu gedung akan ditutup. Hanya ada satu pintu yang masih terbuka yaitu pintu keluar petugas dan pengunjung yang sudah selesai diintrogasi. Suamiku coba bertanya sekali lagi dengan petugas dan petugas tersebut memeriksa ke dalam memastikan keadaan tante Massa. Tidak lama dia kembali memberikan informasi bahwa di dalam masih ada beberapa orang harus diintrogasi dan tante Massa tidak lama lagi mendapat gilirannya. 

Tidak lama kemudian tante Massa keluar dan suamiku memeluknya dengan erat karena merasa lega.
Kami bertanya alasan beliau diintrogasi, ternyata karena petugas tidak percaya antara umur dan wajah beliau yang dianggap masih lebih muda dari umurnya. Dan gambar di kartu identitas yang agak buram.

Disinilah awal mula keterlambatan kami. 


Loket Imigrasi Woodland Check Point, Singapura

Berjalan Menyeberangi Selat Johor
Setelah melewati Imigrasi Singapura, kami bergegas menuju lantai 1 gedung ke arah halte bus. Antri lagi menunggu bus yang sama yang kami tumpangi sebelumnya. Kami meilih antrian operator bus yang sama.
Disini kami merasa curiga karena tidak ada penumpang lain yang berada diantrian, hanya kami. Untuk meyakinkan kami bertanya kepada operator bus lain. Mereka mengatakan kami tidak salah memilih antrian, hanya tinggal menunggu bus nya tiba. Hampir satu jam menunggu tidak satupun bus kami muncul. Beberapa kali bertanya, kami pun menyimpulkan jika kami ketinggalan bus. Kami tidak tahu bagaimana cara untuk menganti bus lain karena petugas mengatakan hanya boleh naik bus yang sama sesuai dengan karcis yang kami pegang. 

Waktu sudah menunjukkan jam 10 malam. Tiba-tiba suamiku memiliki ide untuk berjalan kaki saja menuju Johor Bahru. Menurutnya jaraknya tidak terlalu jauh.

“Hanya menyebrangi jembatan tol di gedung hijau seberang itu loh”... Jelasnya sambil menunjuk ke arah gedung.

Sepintas terlihat memang jaraknya tidak jauh dan kami putuskan untuk jalan kaki saja. Lumayan terbilang nekad karena kami belum pernah melintasi jalur ini dengan berjalan kaki. Suamiku yang pernah melintasinya dengan menggunakan bus merasa waktu tempuh tidak begitu lama sehingga dia menyimpulkn bahwa jaraknya pun tidak begitu jauh.
Ternyata bukan hanya kami yang berjalan kaki menuju Johor Bahru Check Point, ada beberapa orang lokal pun yang malakukannya. Kami mengikuti arah mereka berjalan. Kami masuk ke sebuah gedung yang merupakan jalan menuju terowongan bawah tanah penghung ke Jembatan Selat Johor (dalam bahasa melayu disebut Selat Tebrau). 

Kami harus menuruni 4 lantai menggunakan tangga melingkar. Pada lantai ke dua kami kehilangan jejak orang yang kami ikuti. Di lantai ini ada jalan lorong menuju pintu yang kami fikir itu adalah jalan keluar. Tapi ternyata pintu itu terkunci. Kami kembali ke tangga melingkar dan terus turun hingga lantai dasar. 
 Lorong pada Lantai 2 Gedung

Aku cukup takut menuruni tangga, karena makin kami turun penerangan di ruangan makin hilang dan di lantai dasar sangat gelap. Kami memberanikan diri untuk terus turun.
Sampai di lantai dasar, terlihat cahaya dari kejauhan. Kami menuju cahaya itu dan menemukan terowongan bawah tanah menuju jalan layang Johor – Singapura, yang merupakan perbatasan laut internasional antara negara Malaysia yang terletak di sebelah utara perbatasan dan Singapura di sebelah selatan. Jalan layang Johor – Singapura berada di atas Selat Johor atau dalam bahasa melayu disebut Selat Tebrau dengan panjang 2 km.
Di ujung lorong aku mulai ragu dan bertanya kapada suami untuk meyakinkan keputusan kami untuk jalan kami menuju Johor Bahru. Sekali lagi dia meyakinkan bahwa jarak yang akan kami tempuh tidak jauh. 
Terowongan Menuju Jalan Layang Johor - Singapura

Kami meneruskan perjalanan dan bertemu di titik nol antara Singapura dan Malaysia. Aku baru menyadari jika kami berdiri di atas laut. Sudah cukup jauh jalan yang kami lalui. Kami putuskan berhenti sejenak di titik nol tersebut untuk beristirahat dan mengatur nafas.
Aku sempatkan untuk bersua foto bersama suami dan tante Massa. Berusaha untuk tersenyum walaupun sebenarnya sudah sangat kelelahan, terutama suamiku. Bagaimana tidak, dia membawa koper yang berisi 20 kg gula merah dan beberapa oleh-oleh, backpack berisi pakaian yang akan dipakai selama 1 minggu dan menenteng tas berisi bekal makanan kami. Sementara aku dan tante Massa hanya membawa ransel dengan isi yang tidak seberapa. 
0 km Singapura - Malaysia

Saat melanjutkan perjalanan, suamiku baru menyadari bahwa jalan yang kami lalui sangat jauh. Dia memutuskan untuk menumpang kendaraan pribadi yang melintas, namun usahanya nihil. Tidak ada satu pun mobil yang mau berhenti memberikan tumpangan. Bukan salah mereka tidak mau berhenti, karena memang itu adalah jalan bebas hambatan dan tidak boleh kendaraan berhenti.




Johor Bahru Check Point
Akhirnya kami tiba di persimpangan jalan yang menandakan perjalan ini akan berakhir. Gedung yang ditunjukkan suamiku sebelumnya, sudah terlihat jelas bentuknya. Sekitar 300 m lagi kami mendekati pintu masuk gedung  Sultan Iskandar Checkpoint (Johor Bahru Checkpoint). Rasa lega telah melalui jalan panjang yang melelahkan. Masuk ke dalam gedung kami mencari loket imigrasi Malaysia untuk cap paspor kedatangan. Bersyukur disini tidak harus banyak proses dan antrian pun sangat sedikit, mungkin kerena sudah tengah malam. Setelah melewati loket imigrasi kami bergegas mencari tempat makan yang masih buka. Karena sudah tengah malam, kami hanya menemukan Restorant KFC yang buka 24 jam. Setelah makan kami mencari taxi menuju penginapan. Sampai di penginapan aku mencari tahu jauh jarak perjalanan kami tadi. 


 
Ku buka aplikasi Google Map, mencari tahu berapa jarak tempuh perjalanan kami. Yang ku perkirakan jauh perjalan sekitar 4 kn namun kutemukan bahwa perjalanan kami sejauh 6 km. Mungkin ini hal biasa bagi orang kebanyakan. Tapi mungkin tidak bagi wanita yang di perutnya sedang mengandung janin berumur 8 minggu dan mengalami flek.

Komentar